20120313

Kisah Cinta Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah


Bermimpi Matahari Turun Ke Rumahnya

Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan,  cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan  bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak  memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik  orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.


Banyak pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas  kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan  halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya. Pada suatu malam ia  bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya  serta memancarkan sinarnya ke semua tempat sehingga tiada sebuah rumah  di kota Makkah yang luput dari sinarnya.


Mimpi itu diceritakan kepada  anak bapa saudaranya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang  lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli  tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan  luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.


Waraqah berkata:
"Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman."

 "Nabi itu berasal dari negeri mana?" tanya Khadijah bersungguh-sungguh.

 "Dari kota Makkah ini!" ujar Waraqah singkat.

 "Dari suku mana?"

 "Dari suku Quraisy juga."

 Khadijah bertanya lebih jauh:
 "Dari keluarga mana?"

 "Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat," kata Waraqah dengan  nada menghibur. Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar  meneruskan pertanyaan terakhir:

 "Siapakah nama bakal orang agung itu, hai anak bapa saudaraku?"

Orang tua  itu mempertegas:
"Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!"


Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya.  Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak  itulah Khadijah sentiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak  munculnya sang pemimpin itu.



Nabi Muhammad Berniaga

Muhammad, bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu  yang miskin sejak kecilnya,dipelihara oleh bapa saudaranya, Abu Thalib,  yang hidupnya pun serba kekurangan. Meskipun demikian, bapa saudaranya  amat sayang kepadanya, menganggapnya seperti anak kandung sendiri,  mendidik dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan  budi pekerti yang terpuji.


Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama 'Atiqah mengenai diri Muhammad.


Beliau berkata:
"Muhammad sudah pemuda dua puluh empat tahun. Semestinyalah sudah kahwin. Tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang harus diperbuat."


Setelah memikirkan segala ikhtiar, 'Atiqah pun berkata:
"Saudaraku,  saya mendengar berita bahwa Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga  ke negeri Syam dalam waktu dekat ini. Siapa yang berhubungan dengannya  biasanya rezekinya bagus, diberkati Allah SWT. Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah  jalan untuk memperolehi nafkah, kemudian dicarikan isterinya."


Abu Thalib menyetujui saranan saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia pun tidak keberatan. 'Atiqah mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan bagi Muhammad, agar kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri Syam.


Khadijah, tatkala mendengar nama "Muhammad", ia berfikir dalam hatinya:
"Oh... inilah takbir mimpiku sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah  bin Naufal,bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim, dan  namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi akhir  zaman."


Seketika itu juga timbullah hasrat di dalam hatinya untuk  bersuamikan Muhammad, tetapi tidak dilahirkannya karena khuatir akan  fitnah.


"Baiklah," ujar Khadijah kepada 'Atiqah,
"Saya terima Muhammad dan saya  berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan  berkatnya atas kita bersama." Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang tersudut  di kalbunya.


Kemudian ia meneruskan:
"Wahai 'Atiqah, saya tempatkan  setiap orang dalam rombongan niaga dengan penghasilan tinggi, dan bagi  Muhammad SAW akan diberikan lebih tinggi dari biasanya."


'Atiqah berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui  saudaranya, menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita  hartawan dan budiman itu. Abu Thalib menyambutnya dengan gembira.


Kedua bersaudara itu memanggil Muhammad SAW seraya berkata:
"Pergilah anakanda kepada Khadijah r.a, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya."


Muhammad SAW menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar  dari pekarangan rumah bapa saudaranya, tiba-tibalah ia mencucurkan air  mata kesedihan mengenang nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan  menyertainya dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan  bumi.



Kesaksian Seorang Rahib

Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah, kepala rombongan:
"Hai Muhammad, pakailah baju bulu  itu, dan peganglah bendera kafilah. Engkau berjalan di depan, menuju ke  negeri Syam!"


Muhammad SAW melaksanakan perintah. Setelah iring- iringan keluar dari  halaman memasuki jalan raya, tanpa sedar Muhammad SAW menangis kembali,  tiada yang melihatnya kecuali Allah dan para malaikat-Nya.


Dari mulutnya terucap suara kecil:
"Aduhhai nasib! Mana gerangan ayahku  Abdullah, mana gerangan ibuku Aminah. Kiranyalah mereka menyaksikan  nasib anakandanya yang miskin yatim piatu ini, yang justeru lantaran  ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri jauh. Aku  tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah  tumpah darahku."


Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih. Mereka memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad SAW dengan agak istimewa, sesuai dengan  wasiat Khadijah. Diberinya pakaian terhormat, kenderaan unta yang  tangkas dengan segala perlengkapannya.



Perjalanan mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas  sekali. Tetapi Muhammad SAW berjalan sentiasa dipayungi awan yang  menaunginya hingga mereka berhenti di sebuah peristirehatan dekat rumah  seorang Rahib Nasrani.


Muhammad SAW turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah  di bawah pohon yang teduh. Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia  hairan melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak  pernah terjadi selama ini. Ia tahu apa erti tanda itu karena pernah  dibacanya didalam Kitab Taurat.


Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk  menyiasat siapa pemilik karamah dari kalangan mereka. Semua anggota  rombongan hadir dalam majlis perjamuan itu, kecuali Muhammad SAW seorang  diri yang tinggal untuk menjaga barang- barang dan kenderaan.


Ketika Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap di atas kafilah,  bertanyalah beliau:
"Apakah di antara kalian masih ada yang tidak hadir  di sini? "


Maisarah menjawab:
"Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang."

Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan terus menjabat tangannya, membawanya ke majlis perjamuan. Ketika Muhammad SAW. bergerak, Rahib memperhatikan awan itu turut  bergerak pula mengikuti arah ke mana Muhammad SAW berjalan. Dan di saat  Muhammad SAW masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali  menyaksikan awan itu, dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak  bergerak sedikit pun walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa  gerangan yang memiliki karamah dan keutamaan itu.


Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW, bertanya:
"Hai pemuda, dari negeri mana asalmu?"

 "Dari Makkah".

 "Dari qabilah mana?" tanya sang Rahib.

 "Dari Quraisy, tuan!"

 "Dari keluarga siapa?"

 "Keluarga Bani Hasyim."

 "Siapa namamu?"

 "Namaku, Muhammad."


Serta merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk Muhammad SAW serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya  mengucapkan:
"Laa IlaahaIllallaah, Muhammadar Rasulullah."


Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya:
"Sudikah engkau memperlihatkan tanda di badanmu agar jiwaku tenteram dan keyakinanku lebih mantap?"

 "Tanda apakah yang tuan maksudkan?" tanya Muhammad SAW.

 "Silakan buka bajumu supaya ku lihat tanda akhir kenabian di antara kedua bahumu!"

Muhammad SAW memperkenankannya, di mana Rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang dimaksudkan.

 "Ya....ya....tertolong, tertolong!" seru Rahib.

 "Pergilah ke mana hendak pergi. Engkau terus ditolong!"


Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan:
"Hai hiasan di hari kemudian, hai pemberi syafa'at di akhirat, hai  peribadi yang mulia, hai pembawa nikmat, hai nabi rahmat bagi seluruh  alam!"


Dengan pengakuan demikian, Rahib dari Ahlil-Kitab itu telah menjadi  seorang muslim sebelum Muhammad SAW. dengan rasmi menerima wahyu  kerasulan dari langit.



Paderi-paderi Yahudi Gementar Ketakutan

Pasar dibuka beberapa hari lamanya. Semua jualan laris dengan keuntungan  berlipat ganda, mengatasi pengalaman yang sudah-sudah.Kebetulan pada  saat itu bertepatan dengan hari Yahudi, yang dimeriahkan dengan upacara  besar-besaran.


Muhammad SAW, Abu Bakar dan Maisarah keluar menonton  keramaian itu. Tatkala Muhammad SAW memasuki tempat upacara untuk  menyaksikan cara mereka beribadat, maka tiba-tiba berjatuhanlah semua  lilin-lilin menyala yang bergantungan pada tali di sekitar ruangan, yang  menyebabkan paderi-paderi Yahudi gementar ketakutan.


Seorang di antara  mereka bertanya:
"Alamat apakah ini?" Semuanya hairan, cemas dan ketakutan.

 "Ini bererti ada orang asing yang hadir di sini," jawab pengerusi upacara.

 "Kita baca dalam Taurat bahwa alamat ini akan muncul bilamana seorang  lelaki bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, mendatangi hari raya  agama Yahudi.Mungkinlah sekarang orang itu berada di ruangan kita ini. Carilah lelaki itu, dan kalau bertemu, segeralah tangkap!"


Abu Bakar r.a, sahabat Muhammad SAW sejak dari kecil dan Maisarah yang  mendengar berita itu segera mendekati Muhammad SAW yang berdiri agak  terpisah, dan mengajaknya keluar perlahan-lahan di tengah-tengah  kesibukan orang yang berdesak-desakan keluar masuk ruangan. Tanpa menunda waktu lagi, Maisarah segera memerintahkan kafilah  berangkat pulang ke Makkah. Dengan demikian tertolonglah Muhammad SAW dari kejahatan orang-orang Yahudi.



Nabi Muhammad Pulang Ke Makkah.

Biasanya dalam perjalanan pulang, kira-kira jarak tujuh hari lagi  mendekati Makkah, Maisarah mengirim seorang utusan kepada Khadijah r.a,  memberitahukan bakal kedatangan kafilah serta perkara- perkara lain yang  menyangkut perjalanan.


Maisarah menawarkan kepada Muhammad SAW:
"Apakah engkau bersedia diutus membawa berita ke Makkah?"

Muhammad SAW berkata:
"Ya, saya bersedia apabila ditugaskan".


Pemimpin rombongan mempersiapkan unta yang cepat untuk dinaiki oleh  utusan yang akan berangkat terlebih dahulu ke kota Makkah. Ia pun  menulis sepucuk surat memberikan kepada majikannya bahwa perniagaan  kafilah yang disertai Muhammad SAW mendapat hasil laba yang sangat  memuaskan, dan menceritakan pula tentang pengalaman-pengalaman aneh yang berkaitan dengan diri Muhammad SAW.


Tatkala Muhammad SAW menuntun untanya dan sudah hilang dari pandangan  mata, maka Allah SWT menyampaikan wahyu kepada malaikat Jibril a.s:
"Hai Jibril, singkatkanlah bumi di bawah kaki-kaki unta Muhammad SAW!  Hai Israfil, jagalah ia dari sebelah kanannya! Hai Mikail, jagalah ia  dari sebelah kirinya! Hai awan, teduhilah ia di atas kepalanya!"


Kemudian  Allah SWT mendatangkan rasa mengantuk kepadanya sehingga baginda SAW  tertidur nyenyak dan tiba-tiba telah sampai di Makkah dalam tempoh yang  cukup singkat. Saat terbangun, ia hairan mendapati dirinya telah berada di pintu masuk  kota kelahirannya. Baginda SAW sedar bahwa ini adalah mukjizat Tuhan  kepadanya, lalu bersyukur memuji Zat Yang Maha Kuasa.


Sementara baginda  SAW mengarahkan untanya menuju ke tempat Khadijah r.a, secara kebetulan  Khadijah r.a pada saat itu sedang duduk sambil kepalanya keluar jendela  memandangi jalan ke arah Syam, tiba-tiba dilihatnya Muhammad SAW di atas  untanya dari arah bertentangan di bawah naungan awan yang bergerak  perlahan-lahan di atas kepalanya.


Khadijah r.a menajamkan matanya, bimbang kalau-kalau tertipu oleh  penglihatannya, sebab yang dilihatnya hanyalah Muhammad SAW sendirian  tanpa rombongan,padahal telah dipesannya kepada Maisarah agar menjaganya  sebaik-baik. Ia bertanya kepada wanita-wanita sahayanya yang duduk di  sekitarnya:
"Apakah kamu mengenali siapa pengembara yang datang itu?" sambil tangannya menunjuk ke arah jalan.

Seorang di antara mereka menjawab:
"Seolah-olah Muhammad Al-Amiin, ya sayyidati!"

Kegembiraan Khadijah r.a terlukis dalam ucapannya:
"Kalau benar Muhammad Al-Amiin, maka kamu akan ku merdekakan bilamana ia telah sampai!"


Tak lama kemudian muncullah Muhammad SAW di depan pintu rumah wanita  hartawan itu, yang langsung menyambutnya dengan tutur sapa tulus ikhlas:
"Ku berikan anda unta pilihan, tunggangan khusus dengan apa yang ada di atasnya."


Muhammad SAW mengucapkan terima kasih, kemudian menyerahkan surat dari  ketua rombongan. Ia minta izin pulang ke rumah bapa saudaranya setelah  melaporkan tentang perniagaan mereka ke luar negeri.



Khadijah Menawarkan Diri

 Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata:
"Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!"


Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi  tahu diharga dirinya, Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti, katanya:
"Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bahagianku dalam rombongan  niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak  saudaranya yang yatim piatu".


Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban.
"Oh, itukah....! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa- apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan," kata Khadijah r.a.

"Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu".


Ia berhenti sejenak, meneliti. Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandungi isyarat:
"Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya  baik, kaya, diingini oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab  dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu".



Khadijah tertunduk lalu melanjutkan:
"Tetapi sayang, ada aibnya...! Dia  dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mahu, maka dia akan menjadi  pengkhidmat dan pengabdi kepadamu".


Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama  terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan,  yang lainnya tak tahu apa mahu dijawab. Khadijah r.a tak dapat  mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda  yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al- Amiin itu pun  mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh  Khadijah r.a. Ia minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang  ditinggalkan.


Ia menceritakan kepada bapa saudaranya:
"Aku merasa amat tersinggung oleh  kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan  ucapannya ini dan itu "anu dan anu...." Ia mengulangi apa yang dikatakan  oleh perempuan kaya itu.


'Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat  naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani  Hasyim.



Katanya:
"Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya".


'Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya:
"Khadijah, kalau  kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki  kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?"


Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata- katanya  itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan  hati 'Atiqah:
"Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja ku katakan kepadamu bahwa dirikulah yang ku maksudkan  kepada Muhammad SAW. Kalau ia mahu, aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati".


Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat 'Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah.Percakapan menjadi serius.



"Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah dimaklumi oleh anak bapa saudaramu Waraqah bin Naufah?" tanya 'Atiqah sambil meneruskan:
"Kalau belum cubalah meminta persetujuannya."

 "Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya  mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang,  dan disitulah diadakan lamaran"


Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin  Waraqah takkan keberatan kerana dialah yang menafsirkan mimpinya akan  bersuamikan seorang Nabi akhir zaman. 'Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia  segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu  Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan 'Atiqah dengan Khadijah r.a.


"Itu bagus sekali", kata Abu Thalib,

"Tapi kita harus bermesyuarat dengan Muhammad SAW lebih dahulu".



Janda Cantik Bermata Jeli.

Sebelum dijemput oleh bapa saudaranya, maka terlebih dahulu ia pun telah  menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang  datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan.


Utusan peribadi Khadijah itu bertanya:
"Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?"

 Muhammad SAW menjawab:
 "Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada."

 "Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa  dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?"

 "Siapakah dia?" tanya Muhammad SAW.

 "Khadijah!" Nafisah berterus terang.

 "Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!" Usaha Nafisah berjaya.


Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah  r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerima  pemberitahuan dari saudara- saudaranya tentang hasil pertemuan dengan  Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda  yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya. Betapa tidak  setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan utamanya pula kerana hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya. 


Maka diadakanlah acara yang penuh keindahan itu. Hadir sama Waraqah bin  Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan rasmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya.  Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk  berunding dengan wanita berkenaan.



Pernikahan Muhammad dengan Khadijah

Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah:
"Hai anak bapa saudaraku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal  ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan  keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas".

 "Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta", ujar Waraqah.

"Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan  harta lelaki. Ku wakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya," demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.


Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari  pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal  pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas  kahwin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan "Ash-Shiddiq" sahabat akrab  Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah  buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana  layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi  kerana yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula. 


Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada  hari Jumaat, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri  Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah bapa saudaranya bernama 'Amir  bin Asad, sedang Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan  fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut:


"Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan  (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma'ad, dari keturunan  Mudhar. Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya,  pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim  terhadap sesama manusia. Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin  Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscayalah  ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun  harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang  akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah sama  mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia  akan memberikan mas kahwin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya  dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku. Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya  bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi  berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman- pengalaman hebat.Semoga  Allah memberkati pernikahan ini".


Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di  rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri  berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh  mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan  menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.


Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan:
"Hai Al-Amiin, bergembiralah!Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak  mahupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan,  rumah-rumah,barang- barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi  milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau redhai!"


Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud:
"Dan Dia (Allah)  mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan". (Adh-Dhuhaa)


Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan  secita-cita.



Dijamin Masuk Syurga.

Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun  sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai  karena kematian. Tahun wafatnya disebut "Tahun Kesedihan" ('Aamul  Huzni). Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang  mendahuluinya.


Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang dihantar Jibril 'alaihissalam, di mana beliau merasa  ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa  itu dan menghiburnya, sambil berkata:

"Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai  diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh  Allah bagi umat kita. Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang sentiasa  berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau selalu  berkata benar? Bukankah engkau sentiasa menyantuni anak yatim piatu,  menghormati tetamu dan menghulurkan bantuan kepada setiap orang yang  ditimpa kemalangan dan musibah?"


Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam  menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita  yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap  kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang  dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy.


Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak  dimiliki oleh wanita-wanita lain iaitu, menerima ucapan salam dari Allah  SWT. yang dihantar oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW disertai salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu 'anha serta dihiburnya dengan syurga. Kesetiaan  Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas. 


Nabi SAW pernah berkata:
"Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk  Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW.,  Maryam binti 'Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir'aun".


Wanita Terbaik Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW terhadap peribadi Khadijah r.a ialah:
"Dia adalah seorang wanita yang terbaik, kerana dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam bimbang keingkaran; dia  telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah  mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah  kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa  putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain".


Putera-puteri Rasulullah SAW dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang : tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita.  Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu  Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dibangsakan sebagai keturunan langsung dari Rasulullah SAW.



 ~TAMAT~

Semoga kita mendapat banyak pengajaran dari kisah cinta agung ini. InsyaAllah...

Sumber : CahayaIslam.net.

Wassalam..







No comments:

Post a Comment

Assalamualaikum wbt,

SYUKRAN, TERIMA KASEH, THANK U kerana sudi singgah blog saya : ♥ ukhuwah-fillah ♥ mahabbah-fillah ♥ mawaddah-fillah ♥ uhibbuka-fillah ♥ . DO LEAVE UR COMMENT. Kebanyakkan post dekat sini adalah dari pelbagai sumber. Sesiapa yang ingin SHARE atau COPY, silakan. Sharing is Caring, rite? IF U DUN MIND, LEAVE UR FOOTPRINT HERE - follow blog ana ok dak?syukran. Last but not least, semoga bermanfaat :)

Salam Ukhuwah Fillah Sahabat ~~~

║▌│█│║▌║││█║▌│
PUTERI AMMAR ©